Rabu, 12 Desember 2012

Ibu Negara dan Bapak Negara


Seorang murid tiba-tiba iseng bertanya,"Ustadz, kalau Bang Rhoma jadi presiden, kira-kira yang jadi ibu negara siapa ya?"

Saya jawab,"Emangnye kenape ente ngeributin ibu negara segala?"

Murid itu membalas,"Ya, pan bang haji istrinya gak cuman satu, kira-kira istri yang mana ya yang jadi ibu negara?"

"Hussy, udah lah ente kagak usah usil ngeributin jabatan Ibu Negara segala. Pilpres masih lama, lagian belum tentu juga Rhoma jadi presiden. Kan saingannya banyak juga. Dan kalau pun dia jadi Presiden, terus apa urusannya ente ngeributin ibu negara?", begitu tegur saya.

Murid itu diam sambil senyum-senyum, tapi bertanya lagi,"Wah ustadz, hebat juga antum ini, nggak kepancing ya ditanyain pertanyaan kayak gini."

Saya bilang,"Urusan kita banyak yang jauh lebih penting daripada ngurusin masalah beginian. Nggak usah ngelantur kemana-mana deh."

Dia pun mengangguk-angguk, tapi dia bilang punya pertanyaan satu lagi.

"Tahu nggak ustadz, sejak kita merdeka, kita selalu punya Ibu Negara, yaitu para istri presiden. Tetapi pernah juga kita punya jabatan namanya 'Bapak Negara'."

Saya bilang,"Ya Presiden itu Bapak Negara."

"Oow bukan ustadz, Presiden itu Kepala Negara, tetapi yang namanya 'Bapak Negara' lain lagi.", tukasnya.

Saya rada bengong sebentar, Ah masak sih?, pikir saya dalam hati.

Murid itu melanjutkan,"Kita ini pernah sekali punya Bapak Negara, yaitu ketika Presiden kita dijabat oleh Ibu Megawati. Beliau didampingi oleh 'Bapak Negara', Pak Taufik Kiemas, beliau bukan presiden, tapi Bapak Negara."

Hehehe bener juga, jawab saya dalam hati. Ada Ibu negara dan ada Bapak negara.

"Terus yang jadi anak negara siapa dong?", saya balik bertanya.

"Ya, anak negara adalah anak yatim, anak terlantar, dan gelandangan kali.", begitu dia jawab sambil ngeloyor pergi.

Narasumber :
Ahmad Sarwat

Kisah Penjaja Kue


Suatu hari tampak seorang pemuda tergesa-gesa memasuki sebuah restoran karena kelaparan sejak pagi belum sarapan. Setelah memesan makanan, seorang anak penjaja kue menghampirinya, "Om, beli kue Om, masih hangat dan enak rasanya!"

"Tidak Dik, saya mau makan nasi saja," kata si pemuda menolak.

Sambil tersenyum, si anak pun berlalu dan menunggu di luar restoran.

Melihat si pemuda telah selesai menyantap makanannya, si anak menghampiri lagi dan menyodorkan kuenya. Si pemuda sambil beranjak ke kasir hendak membayar makanan berkata, "Tidak Dik, saya sudah kenyang."

Sambil terus mengikuti si pemuda, si anak berkata, "Kuenya bisa dibuat oleh-oleh pulang, Om."

Dompet yang belum sempat dimasukkan ke kantong pun dibukanya kembali. Dikeluarkannya dua lembar ribuan dan ia mengangsurkan ke anak penjual kue. "Saya tidak mau kuenya. Uang ini anggap saja sedekah dari saya."

Dengan senang hati diterimanya uang itu. Lalu, dia bergegas ke luar restoran dan memberikan uang pemberian tadi kepada pengemis yang berada di depan restoran.

Si pemuda memperhatikan dengan seksama. Dia merasa heran dan sedikit tersinggung. Ia langsung menegur, "Hai adik kecil, kenapa uangnya kamu berikan kepada orang lain? Kamu berjualan kan untuk mendapatkan uang. Kenapa setelah uang ada di tanganmu, malah kamu berikan ke si pengemis itu?"

"Om, saya mohon maaf. Jangan marah ya. Ibu saya mengajarkan kepada saya untuk mendapatkan uang dari usaha berjualan atas jerih payah sendiri, bukan dari mengemis. Kue-kue ini dibuat oleh ibu saya sendiri dan ibu pasti kecewa, marah, dan sedih jika saya menerima uang dari Om bukan hasil dari menjual kue. Tadi Om bilang uang sedekah, maka uangnya saya berikan kepada pengemis itu."

Si pemuda merasa takjub dan menganggukkan kepala tanda mengerti. "Baiklah, berapa banyak kue yang kamu bawa? Saya borong semua untuk oleh-oleh." Si anak pun segera menghitung dengan gembira.

Sambil menyerahkan uang si pemuda berkata, "Terima kasih Dik, atas pelajaran hari ini. Sampaikan salam saya kepada ibumu."

Walaupun tidak mengerti tentang pelajaran apa yang dikatakan si pemuda, dengan gembira diterimanya uang itu sambil berucap, "Terima kasih, Om. Ibu saya pasti akan gembira sekali, hasil kerja kerasnya dihargai dan itu sangat berarti bagi kehidupan kami."

RENUNGAN :

Ini sebuah ilustrasi tentang sikap perjuangan hidup yang POSITIF dan TERHORMAT. Walaupun mereka miskin harta, tetapi mereka kaya mental! Menyikapi kemiskinan bukan dengan mengemis dan minta belas kasihan dari orang lain. Tapi dengan bekerja keras, jujur, dan membanting tulang.

Jika setiap manusia mau melatih dan mengembangkan kekayaan mental di dalam menjalani kehidupan ini, lambat atau cepat kekayaan mental yang telah kita miliki itu akan mengkristal menjadi karakter dan karakter itulah yang akan menjadi embrio dari kesuksesan sejati yang mampu kita ukir dengan gemilang.

Sumber : Ikhwah Gaul

Kisah Dua Teman Memancing

Ada kisah mengenai dua orang teman yang pergi memancing. Tidak lama setelah sampai di lokasi , salah satunya telah mendapatkan ikan yang sangat besar. Dia pun menaruh ikan tersebut ke dalam keranjangnya dan ingin segera pulang. Sambil tercengang, temannya bertanya, "Mau pergi ke mana kamu?"

Dengan singkat, dia menjawab, "Pulang ke rumah. karena aku telah mendapatkan ikan yang sangat besar dan aku rasa ini sudah cukup."
Temannya menanggapi,"Ayo...! Mancing lagi biar dapat ikan besar-besar seperti yang aku dapatkan ini!"

Dia bertanya dengan heran,"Memang kenapa?"

Temannya menjawab, "Jika mendapatkan ikan yang banyak, engkau dapat menjualnya."

Kemudian dia berkata, "Kalau dapat uang banyak, untuk apa?"

Temannya menjawab," Biar tabunganmu makin banyak."

"Kalau tabunganku banyak untuk apa?" singkatnya.

"Biar engkau jadi orang kaya," jawab temannya.

Lalu dia berkata, " Apa yang akan aku dapatkan dengan kekayaan itu?"

Temannya menjawab," Saat besar dan tua nanti, engkau bisa berbahagia bersama istri dan anak-anakmu."

Sambil tersenyum simpul, dia menanggapi temannya dengan mengatakan, "Inilah yang sedang aku lakukan. Aku tidak ingin menundanya hingga sudah tua serta hanya menyia-nyiakan usia saja."

"Masa depan itu tidak berada di tangan kita, namun waktu sekaranglah yang kita pegang. Terkadang kereta kebahagiaan tidak berhenti di stasiun kita ketika ia melihat para penumpangnya diam saja dan tidak menggubris kedatangannya" lanjutnya.

Narasumber : M. Khotif Arham

Kesalahan Penggunaan Kata Yang Tak Disadari


Ada beberapa kata yang sudah biasa dipakai sehari-hari, tetapi ternyata terdapat kesalahan dalam penggunaannya (salah kaprah). Kata-kata tersebut antara lain sebagai berikut.

1. Selebriti
“Selebriti” diserap dari bahasa Inggris “celebrity” yang berarti orang terkenal, tersohor, dan sering dirayakan. Sesuai pedoman penyerapan kata asing, kata-kata yang berujung –ty ditulis/disesuaikan menjadi berakhiran –tas. Contohnya university
(universitas), faculty (fakultas), dan activity (aktivitas).

Kalau begitu seharusnya diserap jadi “selebritas”, dong? Yap betul. Mulai sekarang tiap kali Anda mendengar “selebriti” disebut-sebut di acara gosip di televisi, Anda pun tahu bahwa yang benar seharusnya adalah “selebritas”.

2. Banjir Kanal Timur
Seiring datangnya musim hujan, tiga kata ini kemungkinan besar akan lalu-lalang di liputan media yang menomorsatukan Jakarta. Banjir Kanal Timur adalah sebuah saluran/kanal air yang berfungsi mengurangi ancaman banjir di ibu kota negara. Karena wujudnya berupa kanal, bukan banjir, maka penyebutan yang lebih masuk akal adalah Kanal Banjir Timur.

3. Nuansa
Banyak orang mengira “nuansa” bisa dipakai untuk menggantikan “suasana”, “atmosfer”, atau bahkan “warna”. Contohnya ketika mereka dengan semangat bercerita bahwa mereka baru pulang dari “pesta pernikahan bernuansa Islami di sebuah gedung antik bernuansa Cina, dan sang mempelai mengenakan baju bernuansa kehijauan.” Semua “nuansa” di kalimat itu tidak dipakai dengan tepat.

Menurut kamus, nuansa berarti variasi atau perbedaan yang sangat halus atau kecil sekali (tentang warna, suara, kualitas, dsb); serta kepekaan terhadap, kewaspadaan atas, atau kemampuan menyatakan adanya pergeseran yang kecil sekali (tentang makna, perasaan, atau nilai).

4. Nyinyir
Ketika suatu hari teman Anda menge-tweet, mengejek, atau berkomentar negatif terhadap sesuatu/seseorang, Anda mengira dia sedang nyinyir. Ini tidak sepenuhnya tepat. Yang dia lakukan lebih tepat dibilang menyindir. Menurut kamus, nyinyir berarti mengulang-ulang perintah atau permintaan; nyenyeh; cerewet.

5. Merubah
Oh, yang ini kesalahan klasik. Karena kata dasarnya “ubah”, kata yang benar seharusnya adalah “mengubah”, bukan “merubah”. Demikian juga bentuk pasifnya: “diubah”, bukan “dirubah”. Anda tidak pernah bilang “merucapkan” dan “merusahakan”, bukan? Melainkan “mengucapkan” dan “mengusahakan”.

Karena memang demikianlah yang sesuai kaidah. Untuk kata yang dimulai oleh huruf vokal, kata kerjanya dibentuk dengan awalan me+(ng). Contohnya mengayomi, mengingkari, mengudara, mengecer, mengobral.

6. Bergeming
Bergeming menurut kamus artinya diam, tidak bergerak sedikit pun. Jadi kalau Anda mengatakan bahwa seseorang diam tak bergeming, Anda sebenarnya salah kata. Ingat-ingat, diam itu artinya tidak bergerak, bukan tidak bergeming.

7. Acuh
Pacar Anda mengeluh karena sering Anda acuhkan? Hmm, sepertinya dia sedang manja dan salah kata tuh. Acuh, menurut kamus, berarti peduli. Jadi semakin sering Anda acuhkan, seharusnya pacar justru senang. Kalau Anda tidak acuh alias cuek, barulah dia boleh merengek.

8. Absensi
Absen, menurut kamus, artinya tidak hadir. Sementara absensi, ketidakhadiran. Jadi sebenarnya ada yang janggal bila tiap pagi Anda diharuskan mengisi buku absensi untuk membuktikan bahwa Anda tidak absen? Lebih janggal lagi bila saat pelajaran berlangsung, teman sekelas bertanya “Eh kamu sudah absen, belum?” padahal kalian berdua sama-sama hadir di ruangan!

Yang sebenarnya harus diisi untuk membuktikan bahwa Anda tidak absen adalah buku presensi.

9. Galon
Di Amerika Serikat dan Inggris, kata ini dipakai sebagai satuan volume. Satu galon (AS) setara 3,785 liter sementara satu galon (Inggris) setara 4,544 liter. Tetapi di Indonesia galon punya makna lain, terutama sejak kehadiran produk air minum berukuran 19 liter.

“Pak, jual A*qua galon?”
“Waduh, maaf stok dari sananya lagi kosong Mas. Tuh lihat galon kosong pada numpuk.”

“Galon” kini juga merujuk ke botol tambun yang ketika kosong bisa berfungsi sebagai tetabuhan — tetapi ini tidak masalah. Yang jadi masalah adalah beberapa orang salah kaprah bahwa satu “galon” isinya 19 liter. Kita harus menjelaskan kepada mereka, bahwa satu “A*qua galon” itu sebetulnya berisikan 5 galon (AS) atau 19 liter air.

Ada tambahan kata lain yang biasa salah dipakai dalam kehidupan sehari-hari?

Source:
Yahoo

Senin, 29 Oktober 2012

Cerita Seekor Kambing dan Dua Remaja yang Cantik Hatinya


Ada dua kakak-adik perempuan, satu namanya Puteri (usia 13 tahun, SMP), satu lagi namanya Ais (usia 16 tahun, SMA). Mereka tidak beda dengan jutaan remaja lainnya, meski tidak berlebihan, juga ikutan gelombang remaja yang menyukai budaya populer saat ini, seperti lagu-lagu, boyband, film-film, dan sebagainya. Kabar baiknya, dua anak ini memiliki pemahaman yang baik, berbeda, dan itu akan menjadi bagian penting dalam cerita ini. Suatu hari, guru agama di sekolah Puteri menyuruh murid-muridnya untuk membuat karangan tentang berkurban.

Ini jadi muasal cerita, jika murid-murid lain hanya sibuk membaca sejarah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail,  lantas menulis karangan, Puteri, entah apa pasal, memasukkan cerita hebat itu sungguh-sungguh dalam hatinya. Tercengang. Dia bahkan bertanya pada orang tuanya, di meja makan, apakah keluarga mereka pernah berkurban. Setelah saling tatap sejenak, orang tua mereka menggeleng, tidak pernah. Ayah mereka buruh pabrik, Ibu mereka karyawan honorer, ibarat gentong air, jumlah rezeki yang masuk ke dalam gentong, dengan jumlah yang keluar, kurang lebih sama, jadi mana kepikiran untuk berkorban. Puteri memikirkan fakta itu semalaman, dia menatap kertas karangannya, bahwa keluarga mereka tidak pernah berkorban, padahal dulu, Nabi Ibrahim taat dan patuh mengorbankan anaknya. Bagaimana mungkin? Tidakkah pernah orang tua mereka terpikirkan untuk berkorban sekali saja di keluarga mereka? 

Puteri mengajak bicara kakaknya Ais. Dan seperti yang saya bilang sebelumnya, dua anak ini spesial, mereka memiliki pemahaman yang baik, bahkan lebih matang dibanding orang-orang dewasa. Maka, mereka bersepakat, mereka akan melakukan sesuatu. Uang jajan Puteri sehari 8.000 perak, dikurangi untuk naik angkot, bersisa 4.000 untuk jajan dan keperluan lain. Uang jajan Ais, 10.000 perak, dikurangi untuk naik angkot, bersisa 6.000, juga untuk jajan dan keperluan lain. Mereka bersepakat selama enam bulan ke depan hingga hari raya kurban, akan menyisihkan uang jajan mereka. Puteri memberikan 2.000,  Ais memberikan 3.000 per hari. 

Enam bulan berlalu, mereka berhasil mengumpulkan uang 1,1 juta rupiah. Menakjubkan. Sebenarnya dari uang jajan, mereka hanya berhasil menabung 600 .000, mereka juga harus mengorbankan banyak kesenangan lain. Membeli buku bacaan misalnya, seingin apapun mereka memiliki novel-novel baru, jatah bulanan untuk membeli buku mereka sisihkan, mending pinjam, atau baca gratisan di page/blog, sama saja. Mereka juga memotong besar-besaran jatah pulsa dari orang tua, itu juga menambah tabungan. Juga uang hadiah ulang tahun dari tante/om/pakde/bude. Alhasil, enam bulan berlalu, dua minggu sebelum hari raya kurban, mereka punya uang 1,1 juta.

Aduh, ternyata, saat mereka mulai bertanya-tanya, harga kambing di tempat penjualan-penjualan kambing itu minimal 1,3 juta. Puteri sedih sekali, uang mereka kurang 200rb. Menunduk di depan barisan kambing yang mengembik, dan Mamang penjualnya sibuk melayani orang lain. Tapi kakaknya, Ais, yang tidak kalah semangat, berbisik dia punya ide bagus, menarik tangan adiknya untuk pulang. Mereka survei, cari di internet. Tidak semua harga kambing itu 1,3 juta. Di lembaga amil zakat terpercaya, dengan aliansi bersama peternakan besar, harga kambing lebih murah, persis hanya 1.099.000. Dan itu lebih praktis, tidak perlu dipotong di rumah. Dan tentu saja boleh-boleh
saja mencari harga kambing yang lebih murah sepanjang memenuhi syarat kurban.

Senang sekali Puteri dan Ais akhirnya membawa uang tabungan mereka ke counter tebar hewan kurban tersebut. Uang lembaran ribuan itu menumpuk, lusuh, kusam, tapi tetap saja uang, bahkan aromanya begitu wangi jika kita bisa mencium ketulusan dua kakak-adik tersebut. Mereka berdua tidak pernah bercerita ke orang tua soal kurban itu. Mereka sepakat melupakannya, hanya tertawa setelah pulang, saling berpelukan bahagia.

Dua bulan kemudian, saat laporan kurban itu dikirim lembaga amil zakat tersebut ke rumah, ibunya yang menerima, membukanya--kedua anak mereka lagi main ke rumah tetangga, numpang menonton DVD film, ibunya berlinang air mata, foto-foto, tempat berkurban, dan plang nama di leher kambing terpampang jelas, nama ibunya. Itu benar, dua kakak-adik itu sengaja menulis nama ibunya. Itu benar, dua kakak-adik itu ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Tapi di atas segalanya, dua kakak-adik itu secara kongkret menunjukkan betapa cintanya mereka terhadap agama ini. Mereka bukan memberikan sisa-sisa untuk berkorban, mereka menyisihkannya dengan niat, selama enam bulan. Itulah kurban pertama dari keluarga mereka. Sesuatu yang terlihat mustahil, bisa diatasi oleh dua remaja yang masih belia sekali.

Besok lusa, jika ada tugas mengarang lagi dari gurunya, Puteri tidak akan pernah kesulitan, karena sejak tahun itu, ibu dan ayah mereka meletakkan kaleng di dapur, diberi label besar-besar : 'Kaleng Kurban' keluarga mereka.

*Semoga ada yang tergerak setelah membaca cerita ini. Jika kita menghabiskan uang 100rb lebih setiap bulan untuk pulsa, internetan, dll, maka tidak masuk akal kita tidak punya uang untuk berkorban. Belum lagi ratusan ribu buat makan di luar, nonton, jutaan rupiah buat beli gagdet, pakaian, dll. Begitu banyak rezeki, nikmat dari Tuhan, jangan sampai seumur hidup kita tidak pernah berkurban. Beli pulsa itu setelah menabung untuk kurban, bukan sebaliknya berkurban datang dari sisa-sisa beli pulsa.

**Ayo tulisan ini di-share, repost, copy paste kemana-mana, satu saja teman kalian tergerak hatinya untuk berkurban karena share tulisan dari kalian, maka itu sudah kabar bahagia.
Sumber : Darwis Tere Liye